Bagi investor, ketidakpastian regulasi dan biaya tambahan untuk memenuhi standar lingkungan yang lebih ketat dapat menjadi faktor penghambat investasi
JAKARTA (ENERGINEWS.COM) – Pemerintah Indonesia tengah mempersiapkan langkah besar untuk memperketat pengawasan industri hilirisasi nikel, sebuah langkah yang diharapkan mampu menyelaraskan pengembangan sektor ini dengan target transisi energi berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, langkah ini tidak hanya membawa peluang tetapi juga menimbulkan sejumlah tantangan, terutama terkait penggunaan energi fosil dalam proses pengolahan nikel.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam PPN/Bappenas, Vivi Yulaswati, mengungkapkan bahwa pemerintah akan lebih selektif dalam membuka Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara baru yang digunakan untuk operasional pabrik nikel. Kebijakan ini bertujuan untuk menekan emisi karbon yang dihasilkan oleh industri tersebut.
“Kita akan lebih selektif dalam hal ini. Pemerintah tidak ingin membuka PLTU batu bara yang akan menambah emisi. Tentunya kita juga mendorong energi baru dan terbarukan,” ujar Vivi saat ditemui di Ayana Hotel Jakarta, Selasa, 6 Agustus 2024.
Sejalan dengan visi tersebut, pemerintah berencana menutup PLTU batu bara secara bertahap hingga tahun 2050. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang saat ini masih mendominasi sumber energi nasional.
“Banyak teknologi yang mengarah kepada penerapan energi bersih. Seperti penerapan carbon capture storage, misalnya, kita tetap menggunakan batu bara tapi mencegah dampak emisi ke atmosfer, kita akan upayakan ini untuk mencapai net zero emission,” tambahnya.
Dampak Terhadap Investor dan Pengusaha
Pengetatan regulasi ini tentu berdampak signifikan pada pengusaha dan investor di sektor hilirisasi nikel. Bagi investor, ketidakpastian regulasi dan biaya tambahan untuk memenuhi standar lingkungan yang lebih ketat dapat menjadi faktor penghambat investasi.
Namun, di sisi lain, langkah ini juga membuka peluang bagi para pelaku industri untuk berinovasi dan berinvestasi dalam teknologi bersih yang dapat mendukung proses produksi yang lebih ramah lingkungan.
Industri hilirisasi nikel, yang seharusnya menjadi tulang punggung dalam pengembangan energi terbarukan melalui produk seperti baterai kendaraan listrik, berpotensi menghadapi risiko jika tidak mampu beradaptasi dengan regulasi yang lebih ketat ini.
Jika tidak ada insentif dan dukungan yang memadai dari pemerintah, para pelaku usaha mungkin akan berpikir dua kali untuk menanamkan modal mereka di Indonesia.
Kurangnya pengawasan ketat sebelumnya telah membawa kerugian signifikan bagi negara, baik dari sisi lingkungan maupun ekonomi.
Emisi karbon yang tidak terkendali tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga mengancam komitmen Indonesia untuk mencapai target emisi nol bersih. Selain itu, ketergantungan yang terus berlanjut pada energi fosil memperburuk defisit perdagangan energi nasional.
Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah harus berkomitmen untuk menyediakan insentif yang mendukung transisi energi, seperti subsidi untuk teknologi hijau dan penyesuaian tarif pajak bagi perusahaan yang berinvestasi dalam energi terbarukan.
“Strategi ini akan kita maksimalkan sebelum infrastruktur energi terbarukan selesai. Jadi kita sekarang bicara transisi yang harus disiapkan sedetail mungkin,” kata Vivi Yulaswati.
Dalam jangka panjang, strategi pengembangan energi baru dan terbarukan harus menjadi fokus utama. Pemanfaatan sumber panas bumi yang belum tergarap maksimal merupakan salah satu solusi yang bisa dijadikan prioritas.
“Upaya untuk memperluas bauran ketenagalistrikan kita dari energi terbarukan masih sangat lambat programnya. Sampai saat ini masih belum mencapai target yang ditetapkan dalam RPJMN,” ujar Vivi.
Ke depan, masa depan industri hilirisasi nikel di Indonesia akan sangat tergantung pada kemampuan pemerintah dan pelaku industri untuk berkolaborasi dalam menghadapi tantangan transisi energi. Dengan pengetatan regulasi, diharapkan sektor ini dapat memberikan kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
“Dengan regulasi yang lebih ketat, kita tidak hanya melindungi lingkungan tetapi juga mempersiapkan masa depan industri yang lebih kompetitif dan berkelanjutan,” tutup Vivi Yulaswati.##
Penulis : Redaksi
Editor : Mahmud Marhaba
Sumber Berita : msn.com/tempo.co