Meminta Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk membatalkan keputusan penerimaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tersebut karena kegiatan tambang ekstraktif memiliki banyak mudharat
JAKARTA (ENERGINEWS.COM) – Di tengah nuansa kemewahan Hotel Raffles, Jakarta Selatan, pada malam tanggal 31 Juli 2024, sebuah pernyataan kontroversial keluar dari mulut Wakil Menteri Investasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Yuliot Tanjung. Seolah menjadi batu uji bagi integritas moral organisasi keagamaan, Yuliot mengumumkan bahwa pemerintah telah menawarkan empat titik Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada Muhammadiyah. Tawaran ini bukan sembarang tawaran; ini adalah izin untuk mengelola tambang di daerah yang kaya akan batu bara di Kalimantan Timur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebuah Tawaran Berharga atau Godaan yang Memikat?
Di antara suara gemuruh investasi dan pembangunan, muncul pertanyaan: apakah organisasi kemasyarakatan berbasis agama seperti Muhammadiyah seharusnya terjun ke dalam bisnis tambang? Sebuah langkah yang mungkin saja dapat mengubah wajah organisasi ini selamanya.
Yuliot Tanjung dengan yakin mengungkapkan pihaknya masih mempertimbangkan lokasi IUP untuk Muhammadiyah.
“Mereka masih mempertimbangkan lokasi yang sesuai,” saat ditemui awak media di sela-sela acara tersebut. Pernyataannya merujuk pada proses kajian yang tengah dilakukan oleh Muhammadiyah terkait tawaran tersebut.
Empat lokasi yang diusulkan oleh Kementerian Investasi dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini berada di Kalimantan Timur. Namun, ketegangan muncul bukan hanya dari sisi pertimbangan ekonomi, tetapi juga dari sudut pandang etika dan moral.
Sikap Muhammadiyah Masih Dalam Pertimbangan
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, dalam keterangannya, menekankan bahwa belum ada pembicaraan resmi mengenai tawaran ini.
“Yang saya tahu, belum pernah ada pembicaraan resmi,” katanya melalui aplikasi perpesanan pada Kamis, 1 Agustus 2024.
Pernyataannya ini seolah menjadi penegasan bahwa keputusan menerima atau menolak IUP ini tidaklah sederhana. Ada pertimbangan mendalam yang harus dilakukan, baik dari segi dampak lingkungan, sosial, hingga keutuhan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh Muhammadiyah selama ini.
Mengapa Tawaran Ini Muncul?
Menurut Yuliot, pemberian izin lokasi tambang ini kepada Muhammadiyah berasal dari lahan hasil penciutan milik bekas perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) PT Kaltim Prima Coal. Hal serupa juga dilakukan kepada Nahdlatul Ulama (NU), di mana lokasi tambang diberikan kepada badan usaha mereka.
Tampaknya pemerintah melihat ormas keagamaan sebagai potensi pemain baru dalam industri tambang, yang mungkin dianggap mampu membawa nilai-nilai baru dan tanggung jawab sosial ke dalam dunia pertambangan yang seringkali dilanda isu-isu kontroversial.
Namun, bukan hanya Muhammadiyah yang mendapat tawaran ini. Yuliot menyatakan bahwa pemerintah juga membuka pintu bagi ormas lain. Akan tetapi, respons dari sebagian besar ormas keagamaan justru menunjukkan penolakan.
“Kami tidak mengajukan karena bukan kompetensi kami,” ujar Yuliot menirukan sikap beberapa ormas yang lebih memilih untuk tidak terlibat dalam bisnis tambang.
Sikap Tegas Ormas Lain, Tolak Tambang
Di tengah euforia penawaran IUP ini, muncul desakan dari para pengurus Muhammadiyah di daerah, terutama di wilayah-wilayah yang langsung bersinggungan dengan lokasi tambang. Mereka dengan tegas menyarankan agar PP Muhammadiyah menolak tawaran tersebut.
Dalam pandangan mereka, keterlibatan dalam dunia tambang bisa merusak citra dan misi utama Muhammadiyah sebagai ormas yang berfokus pada pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial.
Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Trenggalek menolak keputusan Pengurus Pusat Muhammadiyah yang menerima Izin Pengelolaan Tambang (IUP) dari pemerintah. Mereka menilai kegiatan tambang ekstraktif memiliki banyak mudarat.
“Menolak keras keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang telah menerima tawaran Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari pemerintah yang didasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2024,” sesuai keterangan tertulis pada Ahad 4 Agustus 2024.
Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Trenggalek, Arifin, dalam deklarasinya meminta PP Muhammadiyah untuk membatalkan keputusan penerimaan izin tambang tersebut.
“Meminta Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk membatalkan keputusan penerimaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tersebut karena kegiatan tambang ekstraktif memiliki banyak mudharat,” kata Arifin saat memimpin deklarasi, pada Ahad, 4 Agustus 2024.
Selain Muhammadiyah, ormas keagamaan lain juga mulai angkat suara. KH Said Aqil Siradj, mantan Ketua Umum PBNU, menilai bahwa keterlibatan ormas keagamaan dalam industri tambang harus dipikirkan dengan sangat hati-hati.
“Agama mengajarkan kita untuk menjaga alam, bukan malah mengeruknya demi kepentingan duniawi,” ujarnya dalam sebuah forum diskusi yang digelar di Jakarta.
Saat ini, PP Muhammadiyah berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada peluang besar untuk meningkatkan kesejahteraan umat melalui sumber daya yang melimpah. Namun, di sisi lain, ada risiko kehilangan jati diri sebagai organisasi yang selama ini dikenal dengan gerakan-gerakan sosialnya.
Di tengah sorotan publik dan internal Muhammadiyah sendiri, satu hal yang pasti adalah bahwa keputusan ini tidak akan diambil dengan mudah. Masyarakat luas menanti sikap resmi PP Muhammadiyah, sementara tekanan dari pengurus daerah dan ormas lainnya terus meningkat.
Sebagai salah satu ormas terbesar di Indonesia, keputusan Muhammadiyah akan menjadi penanda arah bagi banyak pihak. Apakah mereka akan menolak tawaran ini dan tetap berpegang pada misi sosialnya? Atau akankah mereka mencoba menggabungkan dunia usaha dengan nilai-nilai agama?
Pertanyaan ini tidak hanya relevan bagi Muhammadiyah, tetapi juga bagi bangsa Indonesia yang terus mencari keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Kita semua menunggu dengan skeptis, berharap bahwa keputusan yang diambil akan membawa kebaikan bagi banyak pihak dan bukan sebaliknya.##
Penulis : Redaksi
Editor : Mahmud Marhaba
Sumber Berita : tempo.co