“Kami mohon, kepada yang terhormat Presiden RI Joko Widodo, Kapolri, Kejagung, dan DPR RI. Bagaimana bisa Indonesia, negara penghasil timah terbesar, terutama di Bangka Belitung ini, yang kaya akan sumber daya alam, malah membuat masyarakatnya kesulitan untuk hidup tenang?”
BABEL (ENERGINEWS.COM) – Di bawah terik matahari, puluhan warga berkumpul di depan lahan bekas Koba Tin, kawasan Merbuk-Punguk-Kenari, Bangka Tengah. Dengan mulut yang tertutup lakban, mereka berdiri dengan teguh, menuntut dihentikannya aktivitas tambang timah ilegal yang sudah lama menjadi sumber keresahan di wilayah mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aksi menutup mulut ini bukan sekadar simbol bisu. Ini adalah jeritan hati yang telah lama dipendam, sebuah manifestasi kekesalan karena aspirasi mereka seolah-olah diabaikan.
“Kami hanya ingin kehidupan yang layak, tapi tambang ilegal ini menghancurkan lingkungan kami,” kata Wahyu, Penasihat Hukum Masyarakat, yang ikut dalam aksi protes tersebut.
Mereka tidak datang dengan tangan kosong. Berbagai spanduk yang mereka bentangkan mengandung pesan yang sangat jelas: “Hentikan dan Sterilisasi Tambang Ilegal di Blok Merbuk, Kenari, dan Punguk. Tegakkan UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020.” Pesan lainnya berbunyi, “Kami Warga Lingkar Kolong Merbuk Kenari Pungguk Kecamatan Koba Meminta Kepada Forkopimda Bangka Tengah Bangka Belitung dan Aparat Penegak Hukum Untuk Menghentikan Kegiatan Penambangan Ilegal di Wilayah Lingkar Kolong Merbuk Kenari dan Pungguk.”
Aktivitas tambang ilegal ini telah menjadi luka terbuka bagi masyarakat sekitar, menggugah pertanyaan tentang keseriusan pemerintah dalam menegakkan hukum. Wahyu menjelaskan bahwa kehadiran mereka di sini adalah upaya untuk menghubungkan suara masyarakat langsung kepada pemerintah dan penegak hukum.
“Kami mohon, kepada yang terhormat Presiden RI Joko Widodo, Kapolri, Kejagung, dan DPR RI. Bagaimana bisa Indonesia, negara penghasil timah terbesar, terutama di Bangka Belitung ini, yang kaya akan sumber daya alam, malah membuat masyarakatnya kesulitan untuk hidup tenang?” ujarnya dengan nada getir.
Protes tak berhenti di sana. Pada Kamis (25/7/2024) lalu, sejumlah warga, ditemani penasihat hukum mereka, mendatangi Polres Bangka Tengah. Langkah ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari keresahan yang semakin memburuk.
“Kami mewakili masyarakat dari empat kelurahan dan satu desa menyampaikan beberapa aspirasi. Kami berharap penambangan di Punguk Merbuk tidak terus berulang,” jelas Wahyu di depan kantor Polres.
Meski saat ini aktivitas tambang telah dihentikan sementara, kehadiran ponton-ponton yang masih bertengger di lokasi menjadi ancaman nyata bagi warga.
“Bising mesin dan potensi banjir akibat tambang ilegal ini mengganggu kami,” tambah Wahyu. Bukan hanya masalah bising, namun warga khawatir dampak lingkungan yang mungkin terjadi, seperti banjir, yang sudah pernah merendam rumah-rumah mereka.
Syahroni, salah satu perwakilan warga, juga turut bersuara. “Kami mendukung Pak Kapolres dalam penegakan UU Minerba. Kami berharap hukum benar-benar ditegakkan, agar ada ketenangan di wilayah kami,” ujarnya dengan harapan besar.
Menanggapi keluhan masyarakat, Kapolres Bangka Tengah AKBP Pradana Aditya menjelaskan bahwa pihaknya tengah menggelar Operasi Peti Menumbing 2024 untuk menertibkan tambang ilegal.
“Rekan-rekan dari Lingkar Merbuk dan Kenari datang untuk audiensi dan menyampaikan keresahan mereka. Kami sangat mengapresiasi dukungan mereka terhadap penegakan hukum yang sedang kami lakukan,” kata AKBP Pradana.
Namun, pertanyaan mendasar yang muncul adalah apakah operasi ini cukup efektif? Mengingat seringkali upaya penertiban tambang ilegal hanyalah janji manis yang berakhir dengan kekecewaan.
“Ke depan, kita akan mencari formulasi penindakan yang lebih efektif dan efisien untuk mencegah kejadian serupa,” tambah AKBP Pradana, seolah memberi sinyal bahwa perjuangan ini belum berakhir.
Keberanian warga Merbuk-Punguk-Kenari untuk melawan ketidakadilan dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tambang ilegal ini menggugah kita semua. Pertanyaannya, sampai kapan kita harus menutup mata terhadap kenyataan pahit yang dihadapi masyarakat di sekitar tambang ilegal?
Ketika lingkungan hancur dan hukum seakan tak berdaya, suara rakyat menjadi tameng terakhir melawan keserakahan yang membutakan. Mungkin sudah saatnya kita bertanya, siapa sebenarnya yang diuntungkan dari semua ini? Dan mengapa suara rakyat seolah menjadi bisikan angin di telinga penguasa?
Sementara itu, masyarakat Merbuk-Punguk-Kenari terus berjuang, berharap keadilan bukan hanya sekadar impian. Mereka berjuang untuk memastikan bahwa tanah air yang mereka cintai, tanah yang seharusnya menopang kehidupan, tidak lagi menjadi korban keserakahan yang membabi buta.##
Penulis : Redaksi
Editor : Mahmud Marhaba
Sumber Berita : tribunnews.com