Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain yang mengundang investor. Guyana dan Mozambik, misalnya, lebih menarik bagi industri migas dibandingkan Indonesia
JAKARTA (ENERGINEWS.COM) – Di tengah ambisi besar Indonesia untuk menarik investor ke sektor hulu minyak dan gas bumi (migas), tantangan besar muncul.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan bahwa banyak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) lebih memilih mengalirkan investasi mereka ke negara-negara Afrika seperti Mozambik dan Guyana. Pertanyaannya adalah: mengapa?
“Negara-negara seperti Mozambik dan Guyana menawarkan skema kebijakan yang lebih agresif, yang membuat mereka lebih menarik bagi investor migas,” kata Arifin di Gedung Ditjen Migas, Jakarta, Selasa (6/8/2024). Skema yang dimaksud adalah penggunaan royalty and tax, sebuah pendekatan yang lebih sederhana dan transparan dibandingkan model bagi hasil yang saat ini diterapkan di Indonesia.
Daya Saing Indonesia yang Menurun
Daya saing Indonesia dalam menarik investasi migas kini menjadi sorotan utama. Skema royalty and tax yang diusulkan Arifin Tasrif dianggap sebagai solusi potensial untuk mengatasi masalah ini.
“Kita sedang mengkaji agar skema royalty and tax bisa dimasukkan dalam revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,” tambah Arifin.
Dengan perubahan ini, diharapkan iklim investasi migas Indonesia akan lebih kompetitif dan menarik bagi investor global.
Namun, mengapa Indonesia harus mempertimbangkan perubahan ini? Dengan fokus dunia yang semakin mengarah pada transisi energi dan target Net Zero Emissions (NZE), negara ini menghadapi kesenjangan yang semakin lebar antara permintaan dan produksi migas dalam negeri.
“Kita punya target NZE dan transisi energi masih harus dipercepat, sementara produksi dalam negeri tidak seimbang dengan permintaan, yang jelas akan mempengaruhi devisa,” ungkap Arifin.
Masa Depan Energi Indonesia: Tantangan dan Harapan
Tumbur Parlindungan, seorang pengamat dan praktisi hulu migas, menyoroti bahwa Indonesia kini kalah menarik dibandingkan negara-negara Afrika dalam hal investasi migas.
“Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain yang mengundang investor. Guyana dan Mozambik, misalnya, lebih menarik bagi industri migas dibandingkan Indonesia,” ujar Tumbur dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia. Indonesia harus segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi situasi ini. Beberapa strategi yang dapat dipertimbangkan meliputi revisi regulasi untuk memudahkan investor, peningkatan transparansi dalam proses perizinan, serta menawarkan insentif fiskal yang lebih menarik.
Jika Indonesia gagal menarik investasi migas, konsekuensinya bisa sangat serius. Kesenjangan antara permintaan dan produksi migas akan terus melebar, mempengaruhi ketahanan energi dan ekonomi nasional. Selain itu, ketergantungan pada impor energi akan semakin meningkat, yang pada akhirnya dapat membebani neraca pembayaran negara.
Transparansi dan Kepastian Hukum: Kunci Keberhasilan
Untuk memastikan bahwa perubahan kebijakan tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, pemerintah perlu menjamin bahwa semua langkah diambil dengan transparansi dan integritas.
“Indonesia harus memastikan bahwa kebijakan baru tidak hanya menguntungkan segelintir pihak tetapi juga memperkuat posisi kita dalam kancah migas global,” tutup Arifin.
Dengan komitmen terhadap perubahan, Indonesia diharapkan dapat kembali menjadi destinasi menarik bagi investasi migas global, mengoptimalkan potensi sumber daya alamnya, dan mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di masa depan.##
Penulis : Redaksi
Editor : Mahmud Marhaba
Sumber Berita : cnbcindonesia.com