Penggunaan bioetanol juga menimbulkan pro dan kontra. Pendukungnya melihat aspek pengurangan polusi udara dan sumber energi yang dapat diperbarui sebagai keuntungan utama
JAKARTA (ENERGINEWS.COM)
PEMERINTAH berencana membatasi penggunaan BBM bersubsidi, termasuk bensin, di masyarakat. Langkah ini tidak hanya bertujuan mengurangi beban anggaran subsidi, tetapi juga untuk mengurangi polusi udara. Sebagai gantinya, pemerintah sedang menyiapkan bahan bakar nabati yang lebih ramah lingkungan, dengan bioetanol sebagai salah satu opsi utama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, bioetanol memiliki kandungan sulfur yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan bensin, sehingga lebih ramah lingkungan.
“Sulfur (pada bensin) ini sampai 500 ppm. Kita mau sulfur 50 ppm. Ini sedang diproses, dikerjakan Pertamina,” ujar Luhut dalam unggahan di akun Instagram @luhut.pandjaitan, Selasa, 9 Juli 2024.
Bioetanol adalah bahan bakar yang dihasilkan melalui proses fermentasi biologis dari bahan organik, terutama tanaman yang kaya karbohidrat seperti jagung, tebu, sorgum, dan lainnya.
Proses fermentasi ini mengubah gula dalam tanaman menjadi etanol yang dapat digunakan sebagai bahan bakar kendaraan. Bioetanol dikenal sebagai bahan kimia ramah lingkungan karena terbuat dari bahan-bahan alam yang dapat diperbarui, baik yang dapat dimakan (edible) maupun yang tidak dapat dimakan (non-edible).
Pembakaran bioetanol menghasilkan CO2 yang dapat digunakan kembali oleh tanaman, sehingga bioetanol memiliki potensi menjadi bahan bakar yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Namun, produksi bioetanol tidak sepenuhnya bebas dari masalah lingkungan. Berdasarkan laporan dari Let’s Talk Science, meskipun bioetanol dianggap netral karbon, proses produksinya sering kali melibatkan penggunaan bahan bakar fosil. Traktor petani, truk pengangkut bahan baku, dan kilang biofuel sering menggunakan bahan bakar fosil, yang berarti energi input untuk memproduksi bioetanol bisa lebih besar daripada energi output yang dihasilkan. Jika neraca energi negatif, maka dampak lingkungan menjadi kurang menguntungkan.
Penggunaan bioetanol juga menimbulkan pro dan kontra. Pendukungnya melihat aspek pengurangan polusi udara dan sumber energi yang dapat diperbarui sebagai keuntungan utama. Namun, para kritikus mengkhawatirkan isu perubahan lahan dan ketahanan pangan.
Produksi bioetanol membutuhkan lahan luas untuk menanam tanaman bahan baku seperti sawit, jagung, singkong, atau tebu. Jika produksi dilakukan besar-besaran dan mengorbankan hutan, ini dapat menyebabkan konversi lahan hutan menjadi perkebunan monokultur, mengurangi keanekaragaman hayati, degradasi tanah, dan emisi gas rumah kaca dari deforestasi.
Selain itu, ada masalah ekonomi dan etis terkait penggunaan lahan pertanian untuk bahan bakar daripada makanan. Penggunaan tanaman pangan untuk biofuel dapat meningkatkan harga makanan, mengurangi ketahanan pangan, dan membuat masyarakat lebih sulit mengakses makanan sehat. Misalnya, bioetanol dari jagung adalah bahan bakar yang dapat diperbarui, tetapi panen jagung dapat bervariasi tergantung kondisi pertanian. Ketika terjadi gagal panen karena kekeringan, banjir, atau cuaca ekstrem, pasokan jagung turun dan harganya naik, menimbulkan masalah baru.
Dengan segala potensi dan tantangannya, pemerintah harus bijak dalam mengelola transisi dari bahan bakar fosil ke bioetanol. Langkah ini memerlukan koordinasi yang kuat, pengawasan ketat, dan kebijakan yang mendukung keberlanjutan tanpa mengorbankan ketahanan pangan dan lingkungan.##
Penulis : Redaksi
Editor : Mahmud Marhaba
Sumber Berita : msn.com