Perusahaan tambang dan peleburan harus terintegrasi untuk mencapai efisiensi maksimal dan mengurangi residu. Penguatan kolaborasi antara kedua aktivitas tersebut sangat penting untuk menghasilkan rantai pasok yang optimal
JAKARTA (ENERGINEWS.COM)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Indonesia tengah berusaha keras untuk mewujudkan integrasi pertambangan dari hulu hingga hilir, sebuah langkah yang diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi seluruh pemangku kepentingan, mulai dari operator, pemerintah, hingga lingkungan. Namun, meski ada banyak potensi, tidak sedikit yang meragukan kemampuan negara ini untuk mencapai ambisi besar tersebut.
Keputusan Indonesia untuk melarang ekspor bijih mineral sejak 2012 telah memberikan dampak yang signifikan terhadap investasi di sektor ini. Pada tahun tersebut, hanya ada tiga fasilitas peleburan atau smelter di Indonesia. Namun, pada akhir 2023, jumlah tersebut melonjak menjadi 54 unit, sebagian besar di antaranya dibangun dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2024, diperkirakan akan ada tambahan 16 smelter dengan total investasi sebesar US$11,6 miliar.
Menurut Sunil Duggal, Senior Global Advisor dss+, keputusan untuk melarang ekspor bijih mineral merupakan langkah yang tepat.
“Pelarangan ini adalah pintu masuk utama bagi Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil tambangannya secara signifikan,” ujarnya dalam sesi wawancara khusus bersama Bisnis pada Minggu (30/6/2024).
Namun, Duggal juga mengingatkan bahwa masih ada tantangan besar yang harus dihadapi.
“Banyak yang pesimis bahwa Indonesia bisa berhasil mengimplementasikan energi surya yang ramah lingkungan di sektor ini,” tambahnya.
Ia menjelaskan bahwa idealnya, perusahaan tambang dan peleburan harus terintegrasi untuk mencapai efisiensi maksimal dan mengurangi residu. Saat ini, penguatan kolaborasi antara kedua aktivitas tersebut sangat penting untuk menghasilkan rantai pasok yang optimal.
“Indonesia harus semakin matang dalam pengelolaan penghilirannya. Ke depan, operasional harus lebih efisien, mitigasi risiko dilakukan, dan praktek ESG (lingkungan, keberlanjutan, tata kelola) harus diterapkan dengan baik,” tegasnya.
Fakhruddin Noor, General Manager Project PT Masmindo Dwi Area, juga menyuarakan keprihatinannya.
“Indonesia memiliki kesempatan besar untuk menjadi megahub mineral dunia, tetapi kita harus membangun kemampuan (skill) pekerja kita. Teknologi bisa ditiru, tapi kualitas sumber daya manusia kita adalah kunci,” ungkapnya. Ia menekankan pentingnya riset dan pengembangan, serta adaptasi teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas.
Di tengah optimisme pemerintah, kekhawatiran tetap ada. Apakah Indonesia benar-benar siap untuk menjadi pabrik bagi dunia dengan pendekatan pertambangan hijau ini? Apakah kita bisa mengatasi tantangan besar di depan mata? Hanya waktu yang akan menjawabnya. Namun, satu hal yang pasti, perjalanan menuju pertambangan hijau di Indonesia masih panjang dan penuh dengan rintangan yang harus diatasi.##
Penulis : Redaksi
Editor : Mahmud Marhaba
Sumber Berita : Bisnis.com