Penolakan oleh ormas tertentu juga menandakan adanya kekhawatiran mendalam terkait dampak sosial dan lingkungan yang bisa timbul
JAKARTA (ENERGINEWS.COM)– Dalam konteks kebijakan pemerintah yang mengizinkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola tambang, muncul reaksi yang cukup beragam, termasuk dukungan terhadap penolakan pengelolaan tambang oleh beberapa ormas keagamaan, seperti Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, memberikan apresiasi kepada KWI dan PGI yang menolak izin usaha pertambangan (IUP) yang ditawarkan oleh pemerintah. Rukka menegaskan bahwa penolakan ini penting untuk mencegah konflik horisontal yang bisa muncul jika ormas keagamaan tersebut menerima IUP dan harus berhadapan dengan masyarakat adat yang tanahnya berpotensi dijadikan konsesi tambang.
“Mudah-mudahan mereka tetap kuat, tidak tergoda,” ujar Rukka.
Pro dan Kontra
Pro:
- Melindungi Masyarakat Adat
Penolakan oleh ormas keagamaan terhadap IUP tambang dapat mencegah konflik dengan masyarakat adat yang selama ini sering kali terpinggirkan oleh kegiatan pertambangan. Ini juga merupakan langkah untuk menjaga keutuhan sosial dan budaya masyarakat adat yang sering kali terancam oleh eksploitasi sumber daya alam.
- Menjaga Konsistensi Misi Keagamaan
Seperti yang disampaikan oleh Sekretaris Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran-Perantau KWI, Marten Jenarut, pengelolaan tambang tidak sesuai dengan misi dan tugas utama ormas keagamaan, yang seharusnya fokus pada peribadatan dan program kemanusiaan.
“Dalam konteks konsistensi terhadap jati diri dan muruah KWI sebagai ormas keagamaan, tidak menerima tawaran pemerintah untuk memegang IUP pertambangan,” ujar Marten.
- Menghindari Risiko Kompleksitas Bisnis Tambang
Ketua Umum PGI, Gomar Gultom, menegaskan bahwa dunia usaha tambang sangat kompleks dan penuh dengan kontroversi, sehingga pengelolaannya tidak mudah. Dengan menolak IUP, ormas keagamaan dapat menghindari keterlibatan dalam bisnis yang rumit dan potensial menimbulkan masalah lebih lanjut.
“Dunia usaha tambang ini sangat kompleks, mempunyai konsekuensi yang amat luas, dan diliputi beragam kontroversi di dalamnya,” kata Gomar.
Kontra:
- Kehilangan Peluang Ekonomi
Dengan menolak IUP, ormas keagamaan juga menolak peluang ekonomi yang bisa digunakan untuk mendanai kegiatan sosial dan kemanusiaan mereka. Bagi sebagian pihak, pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan dapat dilihat sebagai kesempatan untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya alam secara lebih bertanggung jawab dan sesuai dengan nilai-nilai keagamaan.
- Persepsi Ketidakadilan
Penolakan oleh beberapa ormas keagamaan dapat menimbulkan persepsi bahwa mereka tidak ingin terlibat dalam upaya pembangunan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah. Hal ini bisa menciptakan pandangan bahwa ormas tersebut tidak sepenuhnya mendukung kebijakan nasional.
- Potensi Pengelolaan yang Lebih Etis
Ada pandangan bahwa jika ormas keagamaan menerima IUP, mereka mungkin bisa mengelola tambang dengan pendekatan yang lebih etis dan ramah lingkungan, dibandingkan dengan perusahaan swasta yang berorientasi profit. Ini bisa menjadi model pengelolaan tambang yang berbeda dan lebih bertanggung jawab.
Dampak Kebijakan
Kebijakan pemerintah yang membuka peluang bagi ormas keagamaan untuk mengelola tambang memiliki dampak yang luas. Jika diterima, pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan bisa membuka lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan pendapatan lokal. Namun, penolakan oleh ormas tertentu juga menandakan adanya kekhawatiran mendalam terkait dampak sosial dan lingkungan yang bisa timbul.
Secara keseluruhan, penolakan ini mencerminkan kekhawatiran akan potensi konflik sosial, dampak negatif terhadap lingkungan, dan pertanyaan mengenai kesesuaian peran ormas keagamaan dalam bisnis pertambangan. Ini menegaskan perlunya kajian mendalam dan pertimbangan matang sebelum kebijakan semacam ini diimplementasikan secara luas.*[]
Penulis : Redaksi
Editor : Mahmud Marhaba
Sumber Berita : tempo.co