Bagaimana mungkin sebuah lembaga advokasi berteriak lantang membela korban, sementara “tangan” lain dari organisasi yang sama justru mulai menggenggam izin tambang?
JAKARTA (ENERGINEWS.COM) – Di tengah gemuruh mesin pengeruk tanah dan debu tambang yang mengepul, sebuah pertarungan nurani tengah berlangsung di jantung organisasi Muhammadiyah. Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH AP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah kini berada di persimpangan yang tak terduga: haruskah mereka tetap membela korban tambang ketika organisasi induk mereka justru mulai terjun ke bisnis pertambangan?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Taufiq Nugroho, Ketua LBH PP Muhammadiyah, dengan suara yang penuh keyakinan namun tersirat kegelisahan, menegaskan posisi lembaganya: “Jadi bukan hanya masih, tapi kita justru akan semakin kencang melakukan advokasi itu, terutama kaitan tambang,” ujarnya dengan nada yang seolah menantang takdir.
Namun, di balik ketegasan itu, tersembunyi sebuah ironi yang menggores. Bagaimana mungkin sebuah lembaga advokasi berteriak lantang membela korban, sementara “tangan” lain dari organisasi yang sama justru mulai menggenggam izin tambang?
Taufiq berusaha menjernihkan air yang keruh ini. Dengan nada yang sedikit defensif, ia menjelaskan, ketika nanti ada korban, justru itu misalkan berkaitan dengan tambang yang dikelola oleh perusahaan dibentuk Muhammadiyah, justru kita akan advokasi. Bukan berarti kita akan membiarkan, membela pertambangannya, tidak akan seperti itu.
Pernyataan ini bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menegaskan independensi LBH AP. Namun di sisi lain, bukankah ini juga mengisyaratkan potensi konflik kepentingan yang bisa terjadi di masa depan?
Sementara itu, di sisi lain arena, Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, dengan optimisme yang menggebu-gebu, menyatakan, Orientasi pengelolaan izin tambang yang disetujui adalah sebagai sarana dakwah di bidang ekonomi dan memberikan contoh kelola tambang yang ideal dan meminimalisir dampak lingkungan.
Namun, apakah dakwah ekonomi ini tidak justru berpotensi menjadi bumerang bagi citra Muhammadiyah sebagai organisasi yang selama ini dikenal membela kaum tertindas?
LBH AP Muhammadiyah kini berdiri di atas tanah yang goyah. Di satu sisi, mereka harus tetap setia pada misi advokasi mereka. Di sisi lain, loyalitas pada organisasi induk pun tak bisa diabaikan begitu saja.
Pertanyaannya kini, akankah LBH AP Muhammadiyah mampu menjaga independensinya ketika harus berhadapan dengan “saudara” mereka sendiri? Atau akankah mereka terjebak dalam pusaran konflik kepentingan yang tak berujung?
Satu hal yang pasti, drama ini masih jauh dari kata selesai. Dan di tengah debu tambang yang mengepul, nasib para korban tambang pun masih menggantung, menanti kepastian: siapakah sebenarnya yang akan menjadi pembela sejati mereka di tengah dilema besar ini?##
Penulis : Redaksi
Editor : Mahmud Marhaba
Sumber Berita : msn.com