Kabar tentang upaya pemerintah untuk mengurangi porsi kepemilikan saham perusahaan China di proyek-proyek smelter nikel baru telah menjadi perbincangan hangat di kalangan pelaku industri
JAKARTA (ENERGINEWS.COM) – Siang itu, suasana di gedung Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi di Jakarta Pusat tampak sibuk. Di tengah hiruk pikuk wartawan yang berkerumun, sosok Luhut Binsar Pandjaitan muncul dengan langkah tegap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menko yang dikenal dengan sikapnya yang tegas ini langsung membantah kabar yang belakangan ini menghebohkan dunia investasi Indonesia.
“Enggak ada (pengurangan saham China),” tegas Luhut, memecah keheningan ruangan. Matanya menatap tajam para wartawan yang mengerumuninya.
Pernyataan ini seolah menjadi palu hakim yang menghentikan spekulasi yang berkembang sejak beberapa hari terakhir. Kabar tentang upaya pemerintah untuk mengurangi porsi kepemilikan saham perusahaan China di proyek-proyek smelter nikel baru telah menjadi perbincangan hangat di kalangan pelaku industri.
Luhut melanjutkan dengan nada yang lebih santai, sambil mengatakan, orang mau masuk silahkan silahkan saja gak ada yang larang, itu kan bebas. Pernyataan ini menegaskan sikap pemerintah yang terbuka terhadap investasi asing, termasuk dari negara lain selain China.
Namun, kontradiksi muncul ketika kita melihat laporan Bloomberg yang mengutip Financial Times pada Jumat (26/7/2024) lalu. Laporan tersebut menyebutkan adanya upaya pemerintah untuk mengurangi porsi kepemilikan saham perusahaan China di bawah 25% pada proyek smelter nikel baru.
“Pemerintah telah berdiskusi dengan beberapa investor untuk membangun smelter baru di mana perusahaan China akan memiliki saham kurang dari 25%,” ungkap sumber yang dikutip.
Di sisi lain, Septian Hario Seto, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, memberikan pandangan yang sedikit berbeda.
“Semua proyek disepakati secara business to business antara para pemegang saham, termasuk keputusan komposisi pemegang saham Tiongkok menjadi minoritas,” ungkap Septian dalam pernyataannya pada Jumat (26/7/2024)
Pernyataan ini seolah membuka celah interpretasi bahwa meskipun pemerintah tidak secara langsung mengintervensi, ada kemungkinan adanya dorongan halus kepada pelaku bisnis untuk mengurangi dominasi China di sektor nikel Indonesia.
Seorang analis investasi dari sebuah bank swasta nasional, yang meminta namanya dirahasiakan, memberikan pandangannya.
“Ini adalah permainan diplomasi ekonomi yang cerdik. Di satu sisi, pemerintah ingin menjaga hubungan baik dengan China sebagai investor utama. Di sisi lain, ada kebutuhan untuk diversifikasi investor dan menarik subsidi dari AS untuk industri kendaraan listrik.”
Sementara itu, Profesor Ekonomi dari Universitas Indonesia, Dr. Ari Kuncoro, mengingatkan agar kita harus hati-hati dalam mengelola isu ini. Jangan sampai upaya diversifikasi investor justru membuat China merasa tidak nyaman dan menarik investasinya secara besar-besaran.
Polemik ini menjadi cermin kompleksitas diplomasi ekonomi Indonesia di tengah persaingan global. Di satu sisi, Indonesia ingin memaksimalkan potensi sumber daya alamnya. Di sisi lain, ada kebutuhan untuk menyeimbangkan kepentingan berbagai pihak, termasuk investor asing dan kepentingan nasional.
Apakah ini merupakan strategi cerdas Indonesia dalam menavigasi perairan kompleks ekonomi global, atau justru langkah yang berisiko mengusik investor utama? Hanya waktu yang akan menjawab. Yang pasti, mata dunia kini tertuju pada bagaimana Indonesia mengelola “emas hijau”-nya di tengah tarik-menarik kepentingan global.##
Penulis : Redaksi
Editor : Mahmud Marhaba
Sumber Berita : Bisnis.com