“Berdasarkan hasil diskusi Kementerian ESDM dengan Bappenas, disimpulkan adanya anomali di mana sejumlah wilayah Indonesia yang kaya akan SDA justru angka kemiskinannya cukup tinggi, salah satunya adalah Provinsi Sumatera Selatan,”
JAKARATA (ENERGINEWS.COM) – Dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Tata Kelola Pertambangan (Minerba dan Migas), Kontribusinya Bagi Penerimaan Negara dan Perspektif Tindak Pidana di Bidang Pertambangan di Wilayah Sumatera Selatan,” Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan adanya anomali dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia. Acara yang berlangsung di Palembang ini mengangkat permasalahan yang signifikan, khususnya terkait ketidakseimbangan antara kekayaan SDA dan tingkat kemiskinan di wilayah-wilayah kaya SDA.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
M. Idris F. Sihite, Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Perencanaan Strategis, mengemukakan hasil diskusi antara Kementerian ESDM dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
“Berdasarkan hasil diskusi Kementerian ESDM dengan Bappenas, disimpulkan adanya anomali di mana sejumlah wilayah Indonesia yang kaya akan SDA justru angka kemiskinannya cukup tinggi, salah satunya adalah Provinsi Sumatera Selatan,” ujarnya dikutip dari laman Kementerian ESDM Minggu (21/7/24) kemarin.
Menurut Idris, untuk mengatasi anomali tersebut diperlukan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sipil, dan akademisi.
“Ini pekerjaan rumah kita bersama untuk mengatasi persoalan tersebut. Apakah tata kelola sumber daya alam sudah sejalan dengan tujuan pasar 33 UUD 1945, yakni sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat,” tutur Idris Sihite.
Provinsi Sumatera Selatan, dengan cadangan batubara terbesar kedua di Indonesia sebanyak 9,3 miliar ton dan produksi batubara tahun 2023 mencapai 104,68 juta ton, menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp 9,898 triliun. Namun, kekayaan ini belum mampu mengurangi tingkat kemiskinan di provinsi ini. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya pertambangan tanpa izin (PETI) di wilayah ini yang mencari keuntungan sesaat tanpa mematuhi kaidah-kaidah pertambangan yang baik dan bertanggung jawab.
“Provinsi Sumsel merupakan salah satu lokasi PETI terbanyak di Indonesia. PETI merupakan tindak pidana pertambangan sub sektor minerba dengan delik khusus (lex spesialis) di luar KUHP yang memuat sanksi pidana,” ujar Idris Sihite.
Ia menjelaskan bahwa kepada para jaksa yang hadir dalam FGD perlu dilakukan reformulasi strategi pengungkapan perkara PETI berbasis bukti ilmiah dan ‘catch the big fish’. “Semua komoditas tambang punya identitas seperti DNA, sehingga dapat diidentifikasi menggunakan pendekatan scientific evidence. Bukti ilmiah merupakan bukti yang tidak terbantahkan untuk menghitung kerugian negara dari praktek pertambangan illegal,” jelas Idris Sihite.
Guna menghitung dampak kerugian negara, Kementerian ESDM memiliki kemampuan mengungkap data baku, terukur, dan komprehensif. Sihite juga meminta para jaksa untuk mengubah cara pengungkapan perkara dengan memutus supply chain dari end user hingga illegal refinery, serta menggunakan pendekatan anti money laundering (AML) dan follow the money.
“Opsi tindakan hukum lainnya bersifat non pidana secara kumulatif maupun terpisah, untuk memulihkan kerugian negara dan ‘memaksa’ para pelaku mematuhinya, terutama untuk kasus reklamasi tambang,” kata Sihite.#
Penulis : Redaksi
Editor : Wina
Sumber Berita : detikfinance