Kita harus berhati-hati dengan kebijakan yang terlalu memudahkan investor asing. Sering kali, mereka datang hanya untuk mengeruk kekayaan alam
JAKARTA (ENERGINEWS.COM) – Peluang bagi investor asing untuk membuka usaha pertambangan di Indonesia semakin terbuka lebar setelah pemerintah memperkenalkan berbagai regulasi yang memudahkan investasi. Namun, di balik potensi besar tersebut, muncul kekhawatiran terkait dampak yang bisa ditimbulkan, baik positif maupun negatif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyoroti kebutuhan mendesak akan investasi di sektor hulu migas, terutama untuk menggarap lapangan-lapangan baru di wilayah timur Indonesia. Menteri ESDM Arifin Tasrif menegaskan bahwa pemerintah tengah menyiapkan regulasi dan insentif yang menjanjikan bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) asing.
“Kita harus bekerja keras untuk mengoptimalkan sumber daya di laut dalam, terutama di wilayah timur. Ada minat dari beberapa KKKS potensial, dan ini perlu kita kawal dengan serius,” ujarnya dalam peresmian BUIC Blok Cepu, Jumat (9/8/2024).
Namun, kebijakan ini tidak luput dari kritik. Ketua Umum Himpunan Pengusaha Tambang Indonesia (HIPTI), Rusmin Abdul Gani, mengungkapkan keprihatinannya terhadap dampak lingkungan dan kesejahteraan para penambang lokal.
“Kita harus berhati-hati dengan kebijakan yang terlalu memudahkan investor asing. Sering kali, mereka datang hanya untuk mengeruk kekayaan alam kita tanpa memperhatikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat setempat,” tegas Rusmin.
Ia menambahkan bahwa pemerintah harus memastikan adanya pengawasan ketat agar hasil tambang tidak hanya menjadi keuntungan bagi pihak asing, tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi bangsa.
Dampak positif dari masuknya investor asing tentu tidak bisa diabaikan. Peningkatan teknologi, penciptaan lapangan kerja, dan aliran modal asing dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, dengan adanya investasi asing, target produksi minyak 1 juta barel per hari dan gas 12 BCF pada tahun 2030 bisa lebih mudah tercapai.
“Upaya ini tidak hanya mengandalkan lapangan existing, tetapi juga membutuhkan eksplorasi baru. Untuk itu, kita perlu menarik minat investor dengan memberikan insentif yang menarik,” jelas Arifin.
Namun, di sisi lain, risiko yang mengintai juga cukup besar. Potensi kerusakan lingkungan, hilangnya kontrol terhadap sumber daya alam, dan eksploitasi yang tidak bertanggung jawab bisa menjadi bom waktu bagi Indonesia.
“Kita harus realistis dalam mengelola sumber daya kita. Jangan sampai kebijakan yang kita buat justru menjadi bumerang bagi keberlanjutan bangsa ini,” kata Arifin.
Kesuksesan kebijakan ini sangat bergantung pada pengawasan yang ketat dan transparansi dalam pelaksanaan. Pemerintah diharapkan mampu menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan serta kesejahteraan masyarakat. Jika tidak, kekayaan alam yang seharusnya menjadi berkah bisa berubah menjadi kutukan bagi Indonesia.##
Penulis : Redaksi
Editor : Mahmud Marhaba
Sumber Berita : Bisnis.com