Benarkah ini murni masalah kapasitas produksi? Atau ada hal lain yang bermain di balik layar?
JAKARTA (ENERGINEWS.COM) – Mengapa kita masih mengimpor pipa? Bukankah kita sudah memiliki industri dalam negeri? Pertanyaan itu tentu membayangi benak banyak orang. Di tengah gembar-gembor kemandirian industri, Indonesia masih saja bergantung pada impor produk pipa, khususnya Oil Country Tubular Goods (OCTG).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Lalu, apa masalahnya?” mungkin Anda bertanya. Kenyataannya, industri dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan, meski pabrik-pabrik pipa sudah berdiri kokoh di tanah air.
Firdausi Manti, Asisten Deputi Industri Maritim dan Transportasi di Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, tak menampik kenyataan ini. “Produksi lokal kita memang belum cukup,” ujarnya blak-blakan dalam sebuah acara di IOG SCM Summit 2024. Dari kapasitas produksi 230 ribu ton, kita baru bisa menghasilkan 15 ribu ton, tambahna lagi.
Hanya 15 ribu ton? Bukankah itu jauh dari cukup?
Benar sekali. Jumlah itu bahkan tak sebanding dengan kebutuhan industri minyak dan gas (migas) di Indonesia. Tak heran jika Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) masih harus mengimpor sekitar 200 ribu ton produk OCTG. Ironisnya, impor ini terus melonjak setiap tahunnya, mencapai angka tertinggi pada 2023 dengan 201.731 ton.
“Ini masalah yang serius,” kata Firdausi, “dan kita harus segera menemukan solusinya.” Namun, benarkah ini murni masalah kapasitas produksi? Atau ada hal lain yang bermain di balik layar?
Apakah mungkin ada mafia impor yang bermain?
Pertanyaan ini tentu saja menggugah rasa penasaran. Ketika angka impor lebih tinggi dari ekspor, dan bahan baku masih banyak yang berasal dari luar negeri, tidak sedikit yang mencurigai adanya pihak-pihak yang diuntungkan dengan kebijakan ini. Meskipun, secara resmi, pemerintah mengakui bahwa minimnya Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) menjadi alasan utama.
Firdausi mengakui bahwa TKDN komoditas OCTG masih minim, hanya berkisar antara 15 hingga 50 persen, tergantung jenis produk. “Bahan bakunya masih banyak yang impor,” jelasnya. Di sisi lain, tenaga kerja dan jasa lokal justru memiliki TKDN yang tinggi, di atas 75 persen.
Jika begitu, mengapa tidak ada upaya untuk meningkatkan produksi lokal? Sebuah pertanyaan yang logis. Jika memang porsi material mendominasi biaya produksi, mengapa tidak ada upaya serius untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri? “Tentu ada upaya ke arah sana,” kata Firdausi. Namun, upaya ini tampaknya belum cukup untuk menandingi arus impor yang terus mengalir deras.
Dalam skenario ini, bukan hanya industri yang dirugikan, tetapi juga kemandirian ekonomi bangsa. Bagaimana mungkin kita bisa berbicara tentang kemandirian industri jika masih terus bergantung pada impor?
Solusinya?
Firdausi menutup pembicaraan dengan sebuah harapan. “Kita harus memperkuat industri lokal, memastikan bahan baku tersedia, dan memperketat regulasi impor,” tegasnya. Namun, apakah langkah ini akan cukup untuk membalikkan keadaan? Atau kita akan terus terjebak dalam lingkaran impor tanpa ujung?
Hanya waktu yang bisa menjawab. Namun, satu hal yang pasti, kita tidak bisa hanya duduk diam dan berharap masalah ini akan selesai dengan sendirinya. Kemandirian industri adalah harga mati, dan perjuangan untuk mencapainya masih panjang.##
Penulis : Redaksi
Editor : Mahmud Marhaba
Sumber Berita : msn.com/ tribun