Peraturan ini menegaskan bahwa kepemilikan sumber daya alam tetap berada di tangan pemerintah hingga titik penyerahan, sementara pengendalian manajemen operasi berada di bawah SKK Migas
JAKARTA (ENERGINEWS.COM) – Telah terbit sebuah kebijakan baru yang memicu perdebatan di kalangan pelaku industri migas: Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Peraturan ini disahkan pada 6 Agustus 2024 oleh Arifin Tasrif, saat masih menjabat sebagai Menteri ESDM, dan diundangkan oleh PLT Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Asep N. Mulyana, pada 12 Agustus 2024.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, apakah kebijakan ini akan menguntungkan atau justru menambah beban bagi investor di sektor migas? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika mempertimbangkan bahwa Peraturan Menteri ini mencabut sebagian ketentuan dalam Peraturan Menteri Nomor 23 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi. Salah satu ketentuan penting yang dicabut adalah Pasal 34, yang sebelumnya menjadi dasar pengaturan kerja sama dalam pengelolaan wilayah kerja migas.
Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM yang baru, dihadapkan pada tantangan untuk merespons peraturan ini. Sikapnya terhadap kebijakan yang ditinggalkan oleh pendahulunya, Arifin Tasrif, menjadi sorotan. Apakah ia akan mempertahankan, merevisi, atau bahkan menolak peraturan ini?
Dalam kebijakan baru ini, Pasal 2 menetapkan bahwa kontrak bagi hasil gross split akan diberlakukan dengan mempertimbangkan tingkat risiko, iklim investasi, dan manfaat bagi negara. Menariknya, peraturan ini menegaskan bahwa kepemilikan sumber daya alam tetap berada di tangan pemerintah hingga titik penyerahan, sementara pengendalian manajemen operasi berada di bawah SKK Migas.
Namun, semua modal dan risiko sepenuhnya ditanggung oleh kontraktor. Sebuah mekanisme yang terlihat adil di atas kertas, tetapi apakah ini benar-benar menguntungkan bagi kontraktor yang harus menanggung semua risiko?
Bagaimana dengan besaran bagi hasil? Dalam Pasal 4, ditetapkan bahwa metode bagi hasil untuk pengusahaan minyak dan gas bumi konvensional dan non-konvensional menggunakan base split yang disesuaikan dengan komponen variabel dan progresif. Meski begitu, ketidakpastian tetap menghantui para investor.
Semua membutuhkan kejelasan yang lebih konkret terkait penyesuaian komponen variabel dan progresif ini.
Tambahan persentase bagi hasil menjadi salah satu aspek yang diatur dalam Pasal 11. Menteri dapat memberikan tambahan bagi hasil kepada kontraktor jika perhitungan komersialisasi lapangan tidak mencapai nilai keekonomian proyek. Sebaliknya, jika perhitungan melebihi kewajaran nilai keekonomian proyek, tambahan bagi hasil diberikan untuk negara. Apakah kebijakan ini akan mendorong investasi baru atau justru menambah beban birokrasi yang memperlambat keputusan investasi?
Pertanyaan skeptis lainnya muncul: Apakah kebijakan ini mampu bersaing dengan kebijakan serupa di negara lain yang lebih ramah investor? Atau apakah ini hanya sekadar langkah populis tanpa mempertimbangkan kondisi riil di lapangan?
Bahlil, sebagai Menteri ESDM yang baru, kini berada di bawah sorotan. Keputusan yang diambilnya terkait Peraturan Menteri ini akan menentukan arah industri migas Indonesia di masa depan. Apakah ia akan meneruskan kebijakan ini dengan beberapa penyesuaian? Atau justru mengambil langkah yang lebih radikal? Waktu akan menjawab.
Namun, yang jelas, kebijakan ini telah menempatkan industri migas Indonesia di persimpangan jalan, dan arah yang diambil akan berdampak besar pada iklim investasi serta kontribusi sektor ini terhadap perekonomian nasional.
Namun, yang jelas, masyarakat dan pengamat harus terus mengawasi implementasi peraturan ini.##
Penulis : Redaksi
Editor : Mahmud Marhaba
Sumber Berita : ruangenergi.com