Meski banyak diprotes, pemerintah terus memperluas kapasitas PLTU Suralaya dengan menambah dua unit pembangkit baru pada Januari 2020, masing-masing berkapasitas 1.000 MW
JAKARTA (ENERGINEWS.COM) – Di balik keanggunan Jakarta yang tampak sibuk dan dinamis, tersembunyi ancaman yang tak terlihat: polusi udara yang semakin memburuk. Sebuah sumber signifikan dari masalah ini adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya di Cilegon, Banten.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pembangkit ini, yang telah beroperasi selama empat dekade, kini menjadi sorotan pemerintah. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengungkapkan bahwa kajian untuk menutup PLTU ini tengah dipertimbangkan secara serius.
“Itu kami akan rapatkan nanti yang (PLTU) Suralaya itu. Kan sudah banyak polusinya. Dan sudah (beroperasi) 40 tahun,” ujar Luhut usai menghadiri Supply Chain & National Capacity Summit 2024 di Jakarta Convention Center, Rabu, 14 Agustus 2024.
Ia menambahkan, jika Jakarta ini, kalau bisa ditutup tadi (PLTU) Suralaya, kita berharap indeks kualitas udara akan bisa turun mungkin di bawah 100.
Motivasi utama di balik rencana penutupan PLTU Suralaya adalah penurunan polusi udara di Jakarta, yang saat ini mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Data menunjukkan bahwa indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta seringkali berada di kisaran 170-200, jauh di atas standar aman. Sebagai perbandingan, kualitas udara di Ibu Kota Nusantara (IKN) Penajam Paser Utara hanya mencatat AQI 6, sebuah angka yang menunjukkan kualitas udara yang jauh lebih bersih.
PLTU Suralaya: Raksasa Energi yang Kontroversial
PLTU Suralaya, terletak di Kecamatan Pulo Merak, Cilegon, Banten, dikenal sebagai salah satu pembangkit listrik terbesar di Indonesia. Dengan total kapasitas terpasang 3.440 MW dari delapan unit pembangkit, PLTU ini telah menjadi tulang punggung pasokan listrik di wilayah barat Indonesia. Namun, di balik kontribusi besarnya terhadap pasokan listrik, PLTU ini juga menyimpan kontroversi besar: polusi udara.
Meski banyak diprotes, pemerintah terus memperluas kapasitas PLTU Suralaya dengan menambah dua unit pembangkit baru pada Januari 2020, masing-masing berkapasitas 1.000 MW. Dua unit ini dijadwalkan mulai beroperasi tahun ini.
Tentu ini menjadi tantangan tersendiri. Di satu sisi, PLTU ini sangat penting untuk memenuhi kebutuhan listrik, namun di sisi lain, kita harus memikirkan dampak lingkungannya.”
Dilema Penutupan: Pasokan Listrik dan Tenaga Kerja
Jika PLTU Suralaya ditutup, pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana dengan pasokan listrik dan nasib tenaga kerja yang bergantung pada pembangkit ini. Menurut beberapa analis, penutupan PLTU Suralaya tanpa adanya pengganti yang setara bisa mengakibatkan defisit listrik di wilayah Jawa-Bali, yang selama ini sangat bergantung pada pembangkit ini.
“Menutup PLTU Suralaya tanpa persiapan matang bisa jadi bencana. Kita bicara tentang ribuan megawatt kapasitas yang hilang, serta ribuan pekerja yang akan kehilangan pekerjaan mereka,” kata pemerhati energi terbarukan, Rusmin Abdul Gani.
Dari sisi bisnis, PLTU Suralaya memang menguntungkan dengan hasil produksinya, namun jika dihitung dampak lingkungannya, kerugian jangka panjang tidak bisa diabaikan. Polusi yang dihasilkan tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, tetapi juga pada reputasi Indonesia di mata dunia internasional.
Solusi: Peralihan ke Energi Bersih
Sebagai solusi, pemerintah perlu segera memikirkan transisi ke energi terbarukan. Mengganti PLTU berbasis batu bara dengan sumber energi yang lebih bersih, seperti energi matahari atau angin, bisa menjadi jawaban. Namun, peralihan ini membutuhkan investasi besar dan waktu yang tidak singkat.
“Kami terus mencari solusi terbaik. Salah satu opsi adalah meningkatkan investasi di energi terbarukan. Kami tak ingin Indonesia ketinggalan dalam hal ini,” ujar Luhut.
PLTU Suralaya adalah simbol dari dilema besar yang dihadapi Indonesia: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan energi dengan perlindungan lingkungan. Keputusan yang akan diambil pemerintah ke depan akan menjadi penentu arah masa depan energi dan kualitas hidup masyarakat di sekitar Jakarta.##
Penulis : Redaksi
Editor : Mahmud Marhaba
Sumber Berita : msn.com/tempo.co