Jangan-jangan diduga tingginya subsidi LPG selama ini tidak lepas dari kepentingan pihak-pihak tertentu yang diuntungkan. Nampaknya layak untuk dicurigai adanya praktik korupsi di balik distribusi subsidi LPG yang tidak tepat sasaran
JAKARTA (ENERGINEWS.COM)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
INDOENSIA menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya energi. Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), M. Fanshurullah Asa, yang akrab disapa Ifan, mengajukan solusi inovatif untuk mengatasi beban anggaran pemerintah akibat subsidi gas LPG yang mencapai Rp 830 triliun. Ifan menegaskan bahwa pengembangan jaringan gas (jargas) kota adalah langkah tepat yang dapat menghemat anggaran dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.
Subsidi LPG kata Irfan saat ini tidak tepat sasaran dan terus membebani anggaran pemerintah. Hal ini diungkapkan dalam diskusi media terkait Kinerja 100 Hari Anggota KPPU Periode 2024-2029.
“Kita membutuhkan kepemimpinan yang berani untuk menggantikan subsidi LPG dengan perluasan jaringan gas kota demi efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” kata Irfan dengan tegas.
Pengembangan jargas telah diusulkan dalam Program Strategis Nasional (PSN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Namun, hingga kini, realisasi jargas hanya mencapai 20% dari target, yakni 800.000 sambungan rumah (SR) dari target 4 juta SR pada 2024. Hal ini disebabkan kebijakan monopoli PT Pertamina Gas Negara Tbk yang kurang melibatkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan swasta dalam investasi jargas.
Data menunjukkan konsumsi LPG 3 kg meningkat dari 6,8 juta metrik ton (MT) pada 2019 menjadi 8,07 juta MT pada 2023, dengan biaya subsidi yang melonjak dari Rp 54,1 triliun pada 2019 menjadi Rp 117,8 triliun pada 2023. Pada 2024, alokasi subsidi LPG diperkirakan sebesar Rp 87,5 triliun. Sejak 2019, total subsidi yang dikeluarkan pemerintah mencapai Rp 460,8 triliun, sementara total impor LPG mencapai Rp 288 triliun.
“Jika digabungkan, total biaya subsidi dan nilai impor LPG mencapai Rp 833,8 triliun,” ungkap Ifan.
Jangan-jangan diduga tingginya subsidi LPG selama ini tidak lepas dari kepentingan pihak-pihak tertentu yang diuntungkan. Nampaknya layak untuk dicurigai adanya praktik korupsi di balik distribusi subsidi LPG yang tidak tepat sasaran.
Bisa jadi, jaringan gas kota bisa menjadi ancaman bagi mereka yang selama ini diuntungkan oleh kebijakan subsidi LPG.
Ifan menegaskan, jika 50% dari total subsidi LPG digunakan untuk pembangunan jargas, dapat dibangun 23 juta SR dalam lima tahun, jauh melampaui target RPJMN.
“Peralihan ini akan signifikan mengurangi impor LPG dan menghemat devisa negara,” tambahnya. Ia juga menyarankan pengembalian skema jargas ke APBN yang pernah mencapai 600.000 SR dari 2011-2019.
Untuk mendukung adopsi jargas, Ifan menekankan pentingnya kebijakan alokasi gas yang transparan dari hulu ke hilir oleh Kementerian ESDM, serta perimbangan harga jual jargas untuk rumah tangga dan industri kecil. Insentif fiskal bagi badan usaha yang berminat mengembangkan jaringan pipa gas juga diperlukan untuk menarik investasi di sektor ini.
“Dengan kebijakan yang tepat dan transparan, kita bisa mengubah potensi besar ini menjadi kemakmuran nyata bagi rakyat,” pungkas Ifan.##
Penulis : Redaksi
Editor : Mahmud Marhaba
Sumber Berita : msn.com