Tahun lalu, Indonesia hanya mampu menarik investasi EBT sebesar US$1,5 miliar, dengan tambahan kapasitas terpasang yang minim, yaitu 574 megawatt (MW)
JAKARTA (ENERGINEWS.COM) – Di tengah gemuruh dunia yang berlomba-lomba beralih ke energi bersih, Indonesia seolah terjebak dalam pusaran waktu. Selama tujuh tahun terakhir, negeri yang dikenal kaya akan sumber daya alam ini justru mengalami stagnasi yang menyesakkan dalam investasi Energi Baru Terbarukan (EBT). Sebuah ironi yang memilukan, mengingat potensi EBT Indonesia yang begitu melimpah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) membuka tabir kelam ini dengan data yang mengejutkan. Tahun lalu, Indonesia hanya mampu menarik investasi EBT sebesar US$1,5 miliar, dengan tambahan kapasitas terpasang yang minim, yaitu 574 megawatt (MW). Angka ini bagaikan setitik air di padang pasir, jika dibandingkan dengan kebutuhan energi nasional yang terus membengkak.
“Ini bukan sekadar angka, tapi cermin kegagalan kita dalam memanfaatkan momentum transisi energi global,” ujar Mutya Yustika, Energy Finance Specialist IEEFA, dengan nada frustrasi yang tak dapat disembunyikan. Dirinya menambahkan, regulasi kita seolah menjadi tembok tebal yang menghalangi arus investasi. Kewajiban kemitraan dengan anak usaha PLN dengan kepemilikan minimal 51% telah mematikan gairah investor.
“Belum lagi tarif listrik EBT yang terlalu rendah dan larangan pengalihan saham proyek EBT. Kita seolah menutup pintu di saat negara lain membentangkan karpet merah bagi investor,” ungkap Mutya menambahkan dengan getir.
Kerugian negara akibat stagnansi ini bukan sekadar hitungan rupiah. Ini adalah harga mahal yang harus dibayar generasi mendatang. Keterlambatan dalam mengadopsi EBT berarti Indonesia terus terjebak dalam ketergantungan pada bahan bakar fosil, meningkatkan emisi karbon, dan tertinggal dalam kompetisi ekonomi hijau global.
Shinta Kamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menambahkan dengan nada prihatin.
“Saat dunia bergegas menuju ekonomi hijau, kita malah melambat. Padahal, dana untuk proyek EBT sangat berlimpah di luar sana. Sungguh disayangkan,” ungkap Shinta Kamdani.
Lantas, di mana peran pemerintah dan lembaga penegak hukum dalam drama kelam ini? Kementerian ESDM seolah terjebak dalam labirin birokrasi dan kebijakan yang tidak sinkron. Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung seharusnya menyelidiki kemungkinan adanya permainan kotor di balik lambatnya proyek EBT.
“Jika ada indikasi korupsi atau manipulasi dalam proses pengadaan proyek EBT, KPK harus turun tangan,” tegas Ketua Umum PB HIPTI Rusmin Abdul Gani, SE.
Ini bukan sekadar masalah investasi, tapi menyangkut masa depan energi bangsa, tambahnya.
Pemerintah perlu mengambil langkah drastis. Reformasi regulasi yang pro-investasi EBT harus segera dilakukan. Transparansi dalam proses pengadaan proyek harus ditingkatkan. Dan yang tak kalah penting, pemerintah harus memberikan insentif yang menarik bagi investor EBT, baik domestik maupun internasional.
Kisah kelam tujuh tahun investasi EBT yang stagnan ini harus menjadi cambuk bagi semua pihak. Indonesia tidak boleh lagi terjebak dalam nostalgia energi fosil. Saatnya bangkit dan mengejar ketertinggalan, sebelum mimpi akan negeri yang bersih dan berkelanjutan hanya menjadi fatamorgana di tengah padang gersang krisis energi.##
Penulis : Redaksi
Editor : Mahmud Marhaba
Sumber Berita : Bisnis.com