Xinyi Shen, salah satu penulis laporan CREA, menekankan pentingnya produsen baja China mengurangi intensitas karbon dari produk mereka agar tetap bersaing di pasar Uni Eropa
JAKARTA (ENERGINEWS.COM)
China telah mempercepat transisi industri baja menuju ramah lingkungan sebagai respons terhadap dampak tarif ekspor karbon yang baru diberlakukan oleh Uni Eropa. Pada paruh pertama tahun 2024, pemerintah China menolak proyek produksi baja dengan bahan bakar batu bara, menandakan komitmen mereka untuk mengurangi emisi dan mengadopsi teknologi yang lebih bersih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lembaga penelitian Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) melaporkan bahwa dari Januari hingga Juni, China menyetujui pembangunan pabrik baja baru dengan total kapasitas 7,1 juta metrik ton. Namun, yang menarik adalah bahwa semua proyek ini menggunakan tanur busur listrik (electric arc furnace/EAF), yang lebih ramah lingkungan daripada tanur tiup konvensional yang menggunakan batu bara.
Transisi ke EAF memiliki dampak signifikan dalam mengurangi emisi CO2 dari industri baja. CREA memperkirakan bahwa langkah ini dapat mengurangi hingga 200 juta ton emisi CO2 pada tahun 2060. Industri baja China, yang merupakan yang terbesar di dunia, kini berada di bawah tekanan untuk dekarbonisasi.
Selain itu, China berencana untuk bergabung dalam skema perdagangan emisi domestik pada tahun ini dan menghadapi Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (CBAM) Uni Eropa pada tahun depan. CBAM akan membuat produk baja China lebih mahal sekitar 11 persen pada tahun 2030.
Xinyi Shen, salah satu penulis laporan CREA, menekankan pentingnya produsen baja China mengurangi intensitas karbon dari produk mereka agar tetap bersaing di pasar Uni Eropa. CBAM sendiri diperkenalkan oleh Uni Eropa untuk mengatasi masalah “kebocoran karbon,” yaitu ketidaksetaraan regulasi iklim antara negara-negara. Mulai tahun 2026, importir baja, pupuk, semen, dan bahan kimia harus membayar biaya tambahan berdasarkan jejak karbon produk yang mereka beli.
Pekan lalu, peneliti dari Institute for Global Decarbonization Progress (iGDP) China menyatakan bahwa industri baja China mungkin harus membayar hingga 5,9 miliar yuan (sekitar 811,09 juta dolar AS) dalam skema CBAM pada tahun 2030, tergantung pada sejauh mana mereka berhasil mengurangi emisi
Baja yang menggunakan tanur tiup tradisional dapat dikenakan pungutan sekitar 250 yuan per ton pada tahun 2030, sementara EAF berbasis skrap masih bebas dari biaya tambahan.
Semua langkah ini menunjukkan komitmen China untuk mengurangi dampak lingkungan dari industri baja dan beradaptasi dengan tuntutan global untuk mengurangi emisi karbon. Waktu dan tempat menjadi saksi bisu dari perubahan ini, dan kita berharap bahwa langkah-langkah ini akan membawa perubahan positif bagi lingkungan dan masyarakat di seluruh dunia.##
Penulis : Redaksi
Editor : Mahmud Marhaba
Sumber Berita : msn.com