Proyek ini punya potensi besar untuk menjadi hub CCS pertama di Indonesia karena tidak hanya akan menangkap dan menyimpan CO2 dari berbagai industri di Indonesia, tetapi juga dari luar negeri
JAKARTA (ENERGINEWS.COM) – Di tengah gemuruh metropolitan Jakarta yang tak pernah tidur, sebuah visi ambisius tengah dirajut. Bukan sekadar mimpi, tapi sebuah rencana besar yang bisa mengubah wajah Indonesia di peta global teknologi hijau.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Luhut Binsar Pandjaitan, sosok yang kerap menjadi ujung tombak kebijakan ekonomi Indonesia, baru saja mengumumkan langkah berani. Dengan mata berbinar dan suara penuh semangat, ia memaparkan, pertama adalah BP Tangguh yang punya kapasitas penyimpanan sebesar 1,8 gigaton CO2. Proyek ini punya potensi besar untuk menjadi hub CCS pertama di Indonesia karena tidak hanya akan menangkap dan menyimpan CO2 dari berbagai industri di Indonesia, tetapi juga dari luar negeri. Salah satu contohnya adalah pelabuhan terbesar di Jepang, Nagoya.
Pernyataan ini bukan sekadar basa-basi diplomatis. Ini adalah proklamasi bahwa Indonesia siap menjadi pemain kunci dalam pertarungan global melawan perubahan iklim.
Bayangkan, Cekungan Sunda Asri dan Bintuni, wilayah yang mungkin tak banyak dikenal oleh masyarakat umum, kini berpotensi menjadi ‘superhero’ lingkungan. Bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga untuk Asia Timur dan Australia.
“Proyek ini berpotensi menjadi CCS hub lainnya di Indonesia bagian barat, dengan potensi menyimpan CO2 dari Singapura dan juga industri-industri domestik yang sulit mengurai emisi mereka,” tambah Luhut, merujuk pada proyek CCS Sunda Asri, hasil kolaborasi Pertamina dan ExxonMobil.
Namun, di balik optimisme ini, tersimpan tantangan besar. Dr. Andri Satrio, pakar energi dari Universitas Indonesia, mengingatkan:
Ungkap Andri, pihaknya harus waspada. Teknologi CCS memang menjanjikan, tapi juga mahal dan kompleks. Jangan sampai kita terjebak dalam ‘carbon colonialism’, di mana negara maju hanya menggunakan Indonesia sebagai ‘tempat sampah karbon’ mereka.
Peringatan ini bukan tanpa alasan. Dengan potensi penyimpanan karbon yang mencapai 573 gigaton di saline aquifer dan 4,8 gigaton di depleted oil and gas reservoir, Indonesia bisa jadi incaran banyak pihak.
Sementara itu, Menteri ESDM, dalam sebuah wawancara eksklusif di kantornya yang sejuk, menegaskan, bahwa pihaknya punya dua skema CCS.
“Bisa melalui kontrak kerja sama migas atau sebagai usaha tersendiri. Yang penting, kita harus memastikan ini membawa manfaat maksimal bagi Indonesia,” ungkap Menteri ESDM Arifin.
Langkah berani Indonesia ini bak pedang bermata dua. Di satu sisi, ada potensi investasi besar, lapangan kerja baru, dan transfer teknologi. Di sisi lain, ada risiko eksploitasi dan ketergantungan teknologi.
Apakah Indonesia akan menjadi pionir teknologi hijau di Asia, atau justru terjebak dalam pusaran kepentingan global? Hanya waktu yang akan menjawab. Yang pasti, mata dunia kini tertuju pada negeri kepulauan ini, menanti langkah selanjutnya dalam pertarungan melawan perubahan iklim.##
Penulis : Redaksi
Editor : Mahmud Marhaba
Sumber Berita : msn.com/ bisnis.com